Beranda | Artikel
Faedah Sirah Nabi: Pensyariatan Jihad dan Pelajaran di Dalamnya
Jumat, 27 Mei 2022

Bagaimana pensyariatan jihad? Coba kita pelajari dari tulisan berikut ini.

 

 

Pensyariatan jihad di jalan Allah ada beberapa tahapan.

 

TAHAPAN PERTAMA

Pada awal mula Islam, orang-orang mukmin yang berdomisili di Makkah diperintahkan untuk shalat, menunaikan zakat, berdamai, dan memaafkan orang-orang musyrik serta bersabar atas perilaku mereka. Sebenarnya umat Islam sangat ingin menumpas musuh-musuh Allah. Namun, karena jumlah mereka yang masih sedikit dan posisi mereka juga di tanah haram, maka berjihad saat itu belum diperintahkan. Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!” (QS. An-Nisaa’: 77)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan sahabat-sahabatnya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah. Mereka mengatakan, Wahai Nabi Allah, kami merupakan orang-orang yang terhormat sesama kami musyrik. Namun, ketika kami beriman, kami menjadi hina.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memberi maaf. Oleh karena itu, janganlah kalian memerangi kaum tersebut.” (HR. An-Nasai, 6:3; Al-Baihaqi, 9:11; Hakim dalam Al-Mustadrak, 2:307)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memaafkan orang-orang kafir dan juga ahli kitab seperti yang diperintahkan oleh Allah dan bersabar atas perilaku orang-orang musyrik. Allah berfirman,

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا ۚ وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS. Ali Imran: 186)

Dengan demikian, ulama bersepakat bahwa jihad tidak disyariatkan, kecuali pada periode Madinah. Imam Qurthubi mengatakan, “Ketika Nabi di Makkah, beliau tidak diizinkan untuk berperang. Namun, setelah hijrah, maka diizinkan baginya untuk memerangi siapa saja yang memerangi mereka dari golongan musyrikin.” (Al-Jaami’ li Ahkam Al-Qur’an, 3:38)

Ibnu Hajar mengatakan, “Ulama bersepakat bahwa awal mula disyariatkannya jihad adalah setelah hijrah ke Madinah.” (Zaad Al-Ma’ad, 3:70)

 

TAHAPAN KEDUA

Periode ini telah diizinkan untuk berperang setelah hijrah, tetapi belum merupakan suatu kewajiban. Allah Ta’ala berfirman,

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al-Hajj: 39)

Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam sunan-nya dan Hakim dalam kitab Al-Mustadrak bahwasanya Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari Makkah, Abu Bakar berkata, ‘Mereka (kafir Quraisy) telah mengeluarkan Nabi mereka. Sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali ke sisi-Nya. Sungguh mereka akan binasa. Kemudian turunlah ayat, “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” Ayat ini adalah ayat yang pertama yang diturunkan tentang jihad.

 

TAHAPAN KETIGA

Periode ini merupakan periode diwajibkannya berjihad untuk melawan orang-orang yang memerangi. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ayat tersebut memerintahkan untuk memerangi orang-orang yang memerangi mereka saja.”

 

TAHAPAN KEEMPAT

Periode ini merupakan periode terakhir tentang wajibnya memerangi kaum musyrikin. Allah Ta’ala berfirman,

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 29).

Sebagian ulama berkata bahwa berdasarkan ayat ini, kewajiban berperang adalah fardhu ‘ain dan sebagian lagi berpendapat, hukumnya adalah fardhu kifayah.

 

Pelajaran dari Pensyariatan Jihad

Pertama: Jihad disyariatkan pada waktu yang tepat karena ketika mereka berada di Makkah, orang-orang musyrik jumlahnya lebih banyak. Seandainya orang-orang muslim diperintahkan untuk berjihad, sedangkan jumlah mereka sangat sedikit pasti sangat membahayakan kaum muslimin. Oleh karena itu, ketika orang-orang kafir berbuat keji serta mengeluarkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah dan mereka berkeinginan untuk membunuhnya serta menyiksa sahabat-sahabatnya, maka hijrahlah sekelompok sahabat ke Habasyah dan sebagian yang lain ke Madinah. Ketika mereka menetap di Madinah serta menyusun strategi kemenangan hingga terbentuknya wilayah kekuasaan Islam dan akhirnya disyariatkannya memerangi musuh mereka. Hal itu merupakan hikmah dari ditundanya kewajiban untuk berperang hingga kaum muslimin menyusun strategi dan menggalang kekuatan.

Kedua: Peperangan ini berbeda dengan peperangan yang digencarkan oleh orang-orang yang hanya ingin memenuhi hasrat duniawi karena ingin menjadi pahlawan dan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Sedangkan, jihad dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan menegakkan kebenaran sehingga benar-benar Islam menjadi rahmat untuk sekalian alam. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ ۖ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (QS. An-Nisaa’: 76)

Di antara tujuan jihad adalah menjadikan ketaatan semata-mata hanya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 193)

Misi utama yang ingin dicapai oleh para mujahid ialah memberikan keamanan bagi orang-orang yang ingin masuk Islam sehingga tidak ada yang menghalangi dan mencegahnya. Bagi yang telah masuk Islam untuk menghindarkan mereka dari rongrongan orang-orang musyrik yang ingin membalikkan mereka ke agamanya yang dulu. Itulah tujuan jihad yang hakiki. Jadi, bukan untuk menjadi pahlawan apalagi untuk menumpahkan darah semata, mengambil harta, merebut tanah, dan ini tidak pernah terjadi dalam sejarah umat Islam.

Ketiga: Tujuan jihad adalah untuk menyebarkan agama Allah. Mungkin seseorang yang ingin masuk agama Allah, tetapi ada yang menghalanginya dan menggodanya agar ia tidak mendekati dan dimasukkan akidah-akidah sesat lainnya, disyariatkannya jihad tujuannya menjadi jelas. Menolong akidah pengikutnya dan memudahkan dalam menyampaikan agama Allah untuk umat manusia. Yang menguatkan bahwa Islam memberi kebebasan dalam berakidah ialah di mata Islam, Yahudi dan Nasrani memiliki kebebasan dalam menjalankan agama Allah meskipun di lingkup umat Islam. Karena tujuan dari jihad bukan mengharuskan seseorang menggantikan akidahnya.

Keempat: Ketika kita melihat periode-periode pensyariatan jihad jelaslah bahwa Islam bukan disebarkan dengan pedang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 14 tahun sebelum disyariatkannya jihad menyeru kepada Allah dengan penjelasan kebenaran dan nasihat yang baik. Pada masa ini, banyak sekali dari para sahabat masuk Islam dengan penuh kerelaan dan ketentraman hati. Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki sesuatu yang dapat diberikan kepada mereka sehingga mereka masuk Islam.

 

Referensi:

Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.

 


Artikel asli: https://rumaysho.com/33464-faedah-sirah-nabi-pensyariatan-jihad-dan-pelajaran-di-dalamnya.html